THEINDONEWS.COM – Ketua Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Bidang Sinergitas Danantara dan BUMN, Anthony Leong, menilai kebijakan cukai rokok yang saat ini mencapai 57 persen perlu ditempatkan secara proporsional. Menurutnya, di balik kebijakan fiskal tersebut terdapat jutaan pekerja, petani, dan pelaku usaha kecil yang menggantungkan hidupnya pada industri hasil tembakau.
Anthony mengatakan pemerintah memang berkewajiban mengendalikan konsumsi rokok demi kesehatan masyarakat. Namun, setiap keputusan fiskal harus memperhitungkan dampak sosial ekonomi di lapangan. “Hipmi melihat pentingnya menjaga kesinambungan industri agar jutaan pekerja dan petani tidak kehilangan mata pencaharian. Kebijakan cukai harus dibarengi strategi transisi yang jelas, termasuk pengawasan rokok ilegal dan program diversifikasi ekonomi,” ujarnya, Senin (21/9/2025).
Ia mencontohkan, kenaikan harga rokok legal yang terlalu tinggi justru berpotensi mendorong konsumen beralih ke produk ilegal. Hal itu bukan hanya mengurangi penerimaan negara, tetapi juga memperburuk masalah kesehatan karena rokok tanpa cukai tidak melalui standar pengawasan. “Ketika harga resmi naik drastis, risiko peredaran rokok ilegal semakin besar. Itu ironis karena tujuan kesehatan tidak tercapai, sementara tenaga kerja di industri legal justru terancam,” tegasnya.
Kalangan dunia usaha juga mengingatkan tingginya tarif cukai saat ini. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) sebelumnya menegaskan tarif 57 persen jangan kembali dinaikkan karena berpotensi melemahkan daya saing industri padat karya dan memperbesar peredaran produk ilegal. Apindo mendorong pemerintah lebih fokus pada kepastian kebijakan, perbaikan administrasi, dan insentif bagi sektor padat karya ketimbang menambah beban fiskal.
Anthony juga menyoroti nasib petani tembakau dan cengkeh yang produksinya masih menjadi penopang industri dalam negeri. Data BPS mencatat luas lahan tembakau di Indonesia mencapai lebih dari 230 ribu hektare dengan produksi ratusan ribu ton per tahun. Menurunnya permintaan, menurutnya, bisa langsung memukul harga jual di tingkat petani. Ia menekankan agar penerimaan negara dari Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) benar-benar dirasakan masyarakat di daerah penghasil.
“Anggaran DBH CHT sebaiknya diprioritaskan untuk pemberdayaan petani, pelatihan ulang buruh yang terdampak, serta diversifikasi komoditas agar masyarakat tidak bergantung hanya pada tembakau,” kata Anthony. Ia menyarankan agar pemerintah mengatur kenaikan cukai secara bertahap dengan peta jalan multiyears sehingga industri punya ruang beradaptasi. Dialog reguler antara pemerintah, pelaku usaha, dan organisasi pekerja juga dinilai penting agar kebijakan bisa diterima semua pihak.
“Cukai memang harus mengendalikan konsumsi, tapi jangan sampai menambah masalah baru di lapangan. Kita ingin ada keseimbangan yakni penerimaan negara naik, kesehatan masyarakat terjaga, dan tenaga kerja tetap terlindungi,” ujarnya.
Anthony optimistis pendekatan berimbang akan membuat Indonesia mampu mencapai dua tujuan sekaligus, yakni mengurangi prevalensi merokok yang saat ini masih sekitar 28 persen dari populasi dewasa, sekaligus menjaga kontribusi industri hasil tembakau yang pada 2024 tercatat menyumbang lebih dari Rp230 triliun ke kas negara. (ZDS)